Wednesday, November 13, 2013

Laporan Palm Oil Buyers Scorecard 2013: Pembeli Minyak Sawit Perlu Lebih Dukung Produksi yang Lestari

Untuk pertama kalinya, laporan penilaian (scorecard) yang dirilis WWF memasukkan perusahaan dari Amerika bersama perusahaan Eropa, Australia dan Asia ke dalam penilaoan global, yang berisi gambaran bagaimana pembeli minyak sawit dapat mendukung kelestarian. Laporan penilaian yang berjudul “Palm Oil Buyers Scorecard 2013” ini dirilis saat pembukaan konferensi tahunan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ke-11 di Medan (12/11).

Walaupun kemajuan telah terjadi pada banyak perusahaan, harus diakui bahwa suplai terhadap kelapa sawit yang bersetifikat lestari masih tidak sebanding dengan penawaran yang ada. Dalam laporan penilaian tersebut, dapat dilihat perusahaan mana saja yang tidak mengambil langkah bijak untuk mengatasi hal tersebut.  Padahal, perusahaan-perusahaan tersebut harus memenuhi jadwal pencapaian target 100% suplai kelapa sawit berkelanjutan pada tahun 2015.

Laporan “Palm Oil Buyers Scorecard 2013” menyebutkan bahwa hanya 9 dari 130 perusahaan — Ecover, Ferrero Trading, Henkel, REWE Group, Hershey, IKEA, Reckitt Benckiser, Unilever and United Biscuits — yang melaporkan kebijakan mereka untuk mengatasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sawit yang mereka gunakan. Lebih lanjut, 49 perusahaan lainnya sudah memulai langkah untuk mengharuskan suplier mereka untuk menerapkan peraturan emisi yang ditetapkan RSPO.

Laporan ini juga mengurutkan 78 produsen dari produk yang mengandung kelapa sawit dan 52 perusahaan ritel berdasarkan keanggotaan RSPO dan kepatuhan mereka dalam pelaporan, pencapaian target dan tindakan yang dilakukan untuk menggunakan 100% sawit yang berkelanjutan, serta kebijakan dan rencana untuk membatasi emisi gas rumah kaca dari produksi mereka. Selain itu, lebih dari 2/3 produsen dan pengusaha ritel yang dinilai telah menyatakan komitmen mereka untuk menggunakan 100% sawit yang bersertifikat lestari pada 2015. Empat puluh lima dari 130 perusahaan yang dinilai sudah menggunakan 100% CSPO — sekitar 2 juta ton minyak sawit dalam setahun. Namun secara keseluruhan, 130 perusahaan tersebut menggunakan sekitar 7 juta ton kelapa sawit dalam setahun. Fakta ini menggambarkan masih jauhnya target komitmen tersebut dicapai.

Palm Oil Leader WWF-Internasional, Adam Harrison, mengatakan, “Ini adalah tahapan kritis bagi RSPO. Pembeli progresif kelapa sawit mulai meminta perkebunan untuk melakukan lebih dari standar RSPO untuk isu-isu seperti tidak membeli kelapa sawit dari sumber yang tidak diketahui asal-usulnya, meminimalisir penggunaan zat kimia berbahaya dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Perkebunan perlu dihargai atas upaya mereka—sayangnya banyak pembeli yang bahkan tidak membeli kelapa sawit yang bersertifikat RSPO.”

“WWF berharap banyak perusahaan menggunakan data dari RSPO untuk mulai membeli dari anggota RSPO yang memiliki kinerja baik. Namun yang pertama yang perlu mereka lakukan adalah membeli pasokan CSPO yang saat ini tersedia di pasaran”, lanjut Adam.

Sebagai langkah awal, WWF percaya sertifikat “Book&Claim” adalah langkah untuk mengirimkan sinyal pasar dalam mendukung produksi berkelanjutan, sehingga skala ekonomi yang dicapai dapat membantu seluruh industri untuk mengarap rantai pasok minyak sawit yang awal produksinya terpisah dari yang tidak sertifikasi (tersegregasi/ segregated). Hanya saja, WWF berharap adanya proses yang lebih cepat dari perusahaan-perusahaan untuk menggunakan CSPO yang tersegregasi. Perusahaan yang menjadi contoh baik praktik ini adalah Heinz dan United Biscuits, perusahaan kimia Iwata, Ferrero Trading yang memproduksi Nutella, dan perusahaan ritel Waitrose.

Informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Carrie Svingen, WWF-Internasional
Email: csvingen@wwf.panda.org, Hp: +49 151 188 54 833

sumber: WWF News

Friday, November 8, 2013

Kurangi Dampak Lingkungan

RAMAH PADA LINGKUNGAN

Bahkan aktivitas paling sederhana yang dilakukan setiap hari, dapat membantu memulihkan planet kita yang kian rusak ini. Jangan tunda lagi, mari lakukan sekarang.
Kelangsungan hidup berbagai mahluk hidup di muka bumi kian terancam. Sudah saatnya setiap orang ikut menangani dengan cara masing-masing dan sesegera mungkin. Pastikan semua menggunakan solusi dan teknologi yang ramah lingkungan!

Hemat energi
  • Matikan semua alat elektronik saat tidak digunakan. Kerlip merah penanda standby menunjukkan alat tersebut masih menggunakan listrik. Artinya Anda terus berkontribusi pada pemanasan global.
  • Pilihlah perlengkapan elektronik serta lampu yang hemat energi
  • Saat matahari bersinar hindari penggunaan mesin pengering, jemur dan biarkan pakaian kering secara alami.
Hemat air
  • Matikan keran saat sedang menggosok gigi
  • Gunakan air bekas cucian sayuran dan buah untuk menyiram tanaman
  • Segera perbaiki keran yang bocor - keran bocor menumpahkan air bersih hingga 13 liter air per hari
  • Jika mungkin mandilah dengan menggunakan shower. Mandi berendam merupakan cara yang paling boros air.
Hemat kayu dan kertas
  • Selalu gunakan kertas di kedua sisinya
  • Gunakan kembali amplop bekas
Kurangi, pakai lagi dan daur ulang (Reduce, Reuse and Recycle)
  • Bantulah mengurangi tumpukan sampah dunia
  • Jangan gunakan produk 'sekali pakai' seperti piring dan sendok kertas atau pisau, garpu dan cangkir plastik
  • Gunakan baterai isi ulang
  • Pilih kalkulator bertenaga surya

You are what you eat?

Sushi dan Sashimi adalah makanan khas Jepang yang sebenarnya sudah dikonsumsi sejak lama namun sempat menjadi trend beberapa waktu lalu, khususnya di kalangan anak muda. Sushi dan Sashimi umumnya berbahan dasar ikan seperti tuna, salmon, dan unagi. Dibalik kelezatannya, tanpa kita sadari, ketiga ikan yang biasa digunakan dalam pembuatan Sushi maupun Sashimi tersebut sedang terancam keberadaannya.

Tuna
Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari family Scombridae, terutama genus Thunnus. Tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging berwarna putih, daging tuna berwarna merah muda sampai merah tua karena lebih banyak mengandung myglobin daripada ikan lain. Karena tubuhnya yang besar, tuna memiliki nilai komersial yang tinggi, salah  satunya ikan tuna bersirip biru.

Atlantic Bluefin Tuna (Thunnus thynnus) atau Ikan tuna bersirip biru memiliki tubuh ramping  berbentuk torpedo, yang dirancang untuk kecepatan dan daya tahan. Namun sayangnya daging spesies tuna sirip biru ini dianggap sebagai surpasssingly lezat, khususnya di kalangan konsumen sashimi. Pada 1970-an permintaan dan harga untuk tuna sirip biru ukuran besar melonjak di seluruh dunia, terutama di Jepang. Pemerintah Australia pada tahun 2006 menuduh Jepang telah overfishing dan illegal dalam menangkap tuna sebesar 12–20 ribu ton pertahun, jauh di atas kuota yang disepakati sebesar 6 ribu ton pertahun. Kelebihan penangkapan tersebut diduga telah merusak stok tuna sirip biru. Selain itu, penebangan hutan di seluruh wilayah penyebaran tuna telah mendorong jumlah mereka ke tingkat kritis rendah.

Antara 1940 dan pertengahan 1960an, tangkapan perikanan dunia terhadap lima spesies tuna terpenting telah meningkat dari angka sekitar 300 ribu menjadi sekitar sejuta ton pertahun, kebanyakan di antaranya dengan alat pancing. Namun seiring perkembangan teknologi, alat tangkap pukat cincin dalam beberapa tahun terakhir menangkap hingga lebih dari 4 juta ton pertahun. Sekitar 68% dari angka tersebut berasal dari Samudra Pasifik, 22% dari Samudra Hindia dan sisanya dari Samudra Atlantik. Sekitar 62% produksi dunia ditangkap dengan menggunakan pukat cincin, 14% dengan menggunakan pancing rawai tuna (longline), 11% dengan pancing huhate (pole and line), selebihnya dengan alat lain-lain.

Salmon
Salmon adalah sejenis ikan laut dari family Salmonidae. Ikan lain yang satu family dengan salmon adalah ikan salmon. Salmon hidup di Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik. Secara umum, salmon adalah spesies anadromous, yaitu spesies yang bermigrasi untuk berkembang biak. Salmon lahir di perairan air tawar, bermigrasi ke lautan, lalu kembali ke air tawar untuk bereproduksi. Terdapat suatu kepercayaan bahwa salmon selalu kembali ke tempat yang sama dimana ia berkembang biak.

Salmon dikonsumsi karena berbagai manfaat yang dikandungnya tetapi tanpa kita sadari ternyata populasi ikan salmon menurun drastis dekade ini. Dalam perkembangannya, ikan salmon menghadapi banyak ancaman, terutama salmon Atlantik yang berkembang biak di Eropa Barat dan Timur Kanada.
Penurunan jumlah ikan salmon disebabkan oleh parasit yang tersebar dari peternakan salmon dengan jarring terbuka. Faktor lainnya adalah penangkapan ikan salmon secara besar-besaran dan berlebihan untuk memenuhi permintaan pasar dunia.

Proses penghangatan lautan dan sungai juga berkontribusi menghambat perkembangbiakan salmon. Menurut penelitian, ditemukan hanya 27 ekor salmon yang kembali ke sungai dan perairan Maine pada tahun 2000. Hal lain yang menjadi pemicu adalah berkurangnya media untuk berkembang biak, seperti kerikil dan hilangnya habitat yang digunakan untuk berkembang biak karena degradasi arus air. Pembangunan bendungan di sungai juga menghalangi laju salmon menuju tempat berkembang biak. Dan yang paling memperhatikan adalah tercemarnya tempat berkembang biak salmon oleh limbah logam berat.

Freshwater Eel
Belut air tawar (Anguilla japonica) atau yang familiar disebut unagi dalam bahasa Jepang adalah bahan umum yang biasa digunakan dalam masakan Jepang. Unagi kaya akan manfaat seperti protein, vitamin A, dan kalsium.

Namun, dibalik kebaikannya, populasi unagi sedang terancam. Setelah mengetahui sekitar 70-90% tingkat penurunan unagi selama tiga generasi terakhir, pemerintah Jepang secara resmi mengklasifikasikam unagi ke dalam red list hewan yang terancam mengalami kepunahan. Jepang mendominasi  70% dari penangkapan unagi di seluruh dunia dan mengalami kesulitan mengembangbiakannya. Di Amerika Serikat, meskipun 90% dari belut air tawar yang dikonsumsi adalah hasil ternak, mereka tidak dikembangbiakan seperti yang seharusnya. Biasanya, belut muda diperoleh dari alam liar dan barulah diternak di berbagai tempat berbeda tapi hal ini menyebabkan populasi belut muda menurun karena biasanya belut muda diternak dalam net pen terbuka sehingga menyebabkan parasit, limbah produk, dan penyakit masuk ke dalam habitatnya secara mudah.

So, be a good consumer. Jadilah konsumen yang cerdas dengan memilih dan memilah.
(Informasi mengenai ikan-ikan lain yang terancam keberadaannya bisa dilihat di WWF sustainable seafood; consumer guides di www.wwf.or.id/seafoodguide)

sumber : WWF

Tuesday, November 5, 2013

Refleksi aksi lingkungan, mahasiswa Geografi UGM tawarkan solusi lewat platform Sedekah Hijau

“Kepedulian terhadap lingkungan dan aksi-aksi lingkungan merupakan sebuah tindakan kongkret yang harus diapresiasi. Aksi dan kampanye adalah bentuk-bentuk yang  menjadi kritik sosial kepada pemerintah dan lembaga terkait selaku pembuat kebijakan pengelolan lingkungan. Namun harus disadari aksi-aksi lingkungan tersebut juga tidak dapat secara langsung menyelesaikan problem lingkungan yang ada, dikarenakan permasalahan lingkungan merupakan fenomena yang berkelanjutan. Fenomena yang berkelanjutan tentunya harus ditanggapi dengan aksi yang juga harus berkelanjutan. Konsep untuk bergerak tersebut yang menjadi pekerjaan rumah yang besar"


 sumber: Sedekah Hijau 

Saturday, November 2, 2013

Rising Temperatures Challenge Salt Lake City's Water Supply

In an example of the challenges water-strapped Western cities will face in a warming world, new research shows that every degree Fahrenheit of warming in the Salt Lake City region could mean a 1.8 to 6.5 percent drop in the annual flow of streams that provide water to the city.
 Dell Creek in Parley's Canyon, is a source of water for Salt Lake City. A new study shows how climate change is likely to affect the various creeks and streams that help slake Salt Lake City's thirst.
(Credit: Patrick Nelson, Salt Lake City Department of Public Utilities)

By midcentury, warming Western temperatures may mean that some of the creeks and streams that help slake Salt Lake City's thirst will dry up several weeks earlier in the summer and fall, according to the new paper, published today in the journal Earth Interactions. The findings may help regional planners make choices about long-term investments, including water storage and even land-protection policies.
"Many Western water suppliers are aware that climate change will have impacts, but they don't have detailed information that can help them plan for the future," said lead author Tim Bardsley, with NOAA's Cooperative Institute for Research in Environmental Sciences (CIRES) at the University of Colorado Boulder. "Because our research team included hydrologists, climate scientists and water utility experts, we could dig into the issues that mattered most to the operators responsible for making sure clean water flows through taps and sprinklers without interruption."
Bardsley works for the CIRES Western Water Assessment, from the NOAA Colorado Basin River Forecast Center in Salt Lake City. For the new paper, he worked closely with colleagues from the city's water utility, the National Center for Atmospheric Research (NCAR), NOAA's Earth System Research Laboratory and the University of Utah.
The team relied on climate model projections of temperature and precipitation in the area, historical data analysis and a detailed understanding of the region from which the city utility obtains water. The study also used NOAA streamflow forecasting models that provide information for Salt Lake City's current water operations and management.
The picture that emerged was similar, in some ways, to previous research on the water in the Interior West: Warmer temperatures alone will cause more of the region's precipitation to fall as rain than snow, leading to earlier runoff and less water in creeks and streams in the late summer and fall.
"Many snow-dependent regions follow a consistent pattern in responding to warming, but it's important to drill down further to understand the sensitivity of watersheds that matter for individual water supply systems," said NCAR's Andy Wood, a co-author.
The specifics in the new analysis -- which creeks are likely to be impacted most and soonest, how water sources on the nearby western flank of the Wasatch Mountains and the more distant eastern flank will fare -- are critical to water managers with Salt Lake City.
"We are using the findings of this sensitivity analysis to better understand the range of impacts we might experience under climate change scenarios," said co-author Laura Briefer, water resources manager at the Salt Lake City Department of Public Utilities. "This is the kind of tool we need to help us adapt to a changing climate, anticipate future changes and make sound water-resource decisions."
"Water emanating from our local Wasatch Mountains is the lifeblood of the Salt Lake Valley, and is vulnerable to the projected changes in climate," said Salt Lake City Mayor Ralph Becker. "This study, along with other climate adaptation work Salt Lake City is doing, helps us plan to be a more resilient community in a time of climate change."
Among the details in the new assessment:
  • Temperatures are already rising in northern Utah, about 2 degrees Fahrenheit in the last century, and continue to climb. Summer temperatures have increased especially steeply and are expected to continue to do so. Increasing temperatures during the summer irrigation season may increase water demand.
  • Every increase in a degree Fahrenheit means an average decrease of 3.8 percent in annual water flow from watersheds used by Salt Lake City. This means less water available from Salt Lake City's watersheds in the future.
  • Lower-elevation streams are more sensitive to increasing temperatures, especially from May through September, and city water experts may need to rely on less-sensitive, higher-elevation sources in late summer, or more water storage.
  • Models tell an uncertain story about total future precipitation in the region, primarily because Utah is on the boundary of the Southwest (projected to dry) and the U.S. northern tier states (projected to get wetter).
  • Overall, models suggest increased winter flows, when water demand is lower, and decreased summer flows when water demand peaks.
  • Annual precipitation would need to increase by about 10 percent to counteract the stream-drying effect of a 5-degree increase in temperature.
  • A 5-degree temperature increase would also mean that peak water flow in the western Wasatch creeks would occur two to four weeks earlier in the summer than it does today. This earlier stream runoff will make it more difficult to meet water demand as the summer irrigation season progresses.
 sources: Science Daily